Senin, 22 Oktober 2012


Menembus Lorong Waktu di Museum Malang Tempo Dulu

 Tak kenal berarti tak sayang. Istilah itulah yang tampaknya melatarbelakangi sejarahwan asal Malang sekaligus pemilik Yayasan Inggil Dwi Cahyono untuk memprakarsai pembuatan museum baru bertajuk Museum Malang Tempo Dulu. Jika kita mengetahui sejarah dan mengenal Malang, maka tak mungkin kita akan mencintai Malang.  
 Berbeda dengan museum pada umumnya. Konsep museum tersebut tampak berbeda karena dilengkapi dengan miniatur kehidupan pra sejarah yakni sejak 1 juta 500 tahun yang lalu, masa kerajaan sebelum berdirinya pemerintahan di Malang hingga miniature Malang Tempo Dulu. Menariknya, museum yang terletak di Jalan Gajahmada nomor 2 Kota Malang ini disusun sedemikian rupa, hingga pengunjung merasa seperti berada di lorong waktu. museum tersebut memiliki 20 ruangan yang masing-masing ruangannya mewakili setiap sejarah yang telah dilalui Malang.

Menurut Dwi Cahyono, warga Malang maupun warga luar Malang saat ini lebih memilih mengunjungi mall dibandingkan mengunjungi museum. Pasalnya konsep museum yang ada hanya tampak seperti kumpulan benda antic, namun tak memberikan hiburan secara artistic. Untuk itu, ia membuat Museum Malang Tempo Dulu yang tak hanya menjadi salah satu alternative lokasi wisata baru di Kota Malang, namun juga memberikan pembelajaran kepada generasi muda. “Harus ada konsep museum baru yang bisa menarik minat masyarakat khususnya anak muda untuk mempelajari sejarah Malang. Itulah yang membuat kita cinta Malang,” kata Dwi Cahyono saat ditemui usai peresmian musem MTD ini, Senin (22/10/2012).

Untuk membuat museum MTD, tentunya bukan hal yang mudah bagi Dwi Cahyono. Pasalnya, ia harus menyisir tempat-tempat bersejarah di Malang raya untuk bisa mendapatkan benda-benda bersejarah yang kini terpajang rapi di museumnya. Bahkan, ia membutuhkan waktu enam tahun untuk bisa merealisasikan museum ini. “Memang paling sulit adalah untuk mencari data. Saya harus menelusuri tempat maupun pelaku sejarah untuk mencari dan mengumpulkan data, foto, film serta benda bersejarah tentang sejarah Malang,” ujarnya.

Tak hanya tenaga, biaya yang dibutuhkan pun tak sedikit. Menurut pengakuan Dwi Cahyono, ia harus merogoh kocek sekitar Rp 1,5 miliar untuk merealisasikan museum tersebut. “Kalau soal biaya memang cukup besar, tetapi yang penting ini bisa menjadi asset penting Malang. Sebagai tempat yang memang benar-benar menggambarkan Malang,” tukas dia.

Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Kota Malang, Ida Ayu Made Wahyuni mengungkapkan jika Kota Malang menyatakan sangat beruntung telah memiliki satu museum lagi untuk bisa menjadi daya tarik wisata Kota Malang. Dengan adanya museum Malang Tempo Dulu ini, praktis Malang memiliki empat museum, yakni Museum Brawijaya, Museum Empu Purwa, Museum Bentoel, dan Museum Malang Tempo Dulu.

“Semoga dengan keberadaan Museum Malang Tempo Dulu maka daya tarik wisata Kota Malang untuk wisatawan lokal maupun manca Negara. Malang beruntung bisa punya orang seperti Dwi Cahyono,” tutur Ida Ayu.

Hal serupa juga diunhkapkan oleh Kepala Badan Pelestarian Benda Pusaka Indonesia, Eka
Budianta. Ia memberikan apresiasi tinggi terhadap MMTD sebagai hasil karya Dwi Cahyono. Ia mengatakan bahwa di MMTD ini tak hanya menyediakan informasi tentang pra sejarah, sejarah, maupun arkelologi Kota Malang, namun juga ilmu panteologi yang membuat Museum Malang Tempo Doeloe menjadi lengkap. “Museum dengan konsep seperti ini merupakan yang pertama di Indonesia. Sangat bagus dan saya bangga,” pungkasnya. (num)

1 komentar:

  1. I am proud to be Arema...we are nowhere ..but everywhere...ONE HEART AREMA

    BalasHapus